CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Minggu, 18 Mei 2008

Senin, 30 Januari, 2006 09:59
Sumur Maria Kitiran Mas



Selain gua Maria, di sekitar Yogya juga ada beberapa lokasi ziarah lain, salah satunya adalah Sumur Maria Kitiran Mas, di Pakem, Kaliurang, Yogyakarta. Ini adalah salah satu lokasi ziarah yang banyak dikunjungi setelah Candi Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran, Bantul.

Sejarah

Sekitar tahun 1983, sebuah keputusan iman diambil umat Paroki Pakem, membuat sumur didalam gereja, persis di bawah patung Maria "Ibu Risang Sungkawa" (Bunda mereka yang menderita). Penggalian sumur itu bukanlah penggalian yang biasa, melainkan sebenarnya adalah puncak dari suatu peziarahan panjang, yang penuh dengan pencarian dan pengharapan. Tanpa peziarahan panjang itu tak mungkin ada sumur didalam gereja Pakem ini.

Jauh sebelum sumur digali, diadakan peziarahan mencari tujuh kembang dan tujuh mata air. Tujuh kembang yang dicari adalah kembang melati, kemuning, tlasih, kelapa, kantil, mawar, dan temon. Peziarahan itu dimaksudkan sebagai tirakatan yang dipersembahkan untuk mengenang tujuh wanita desa yang telah memberikan teladan, kebijaksanaan dan inspirasi hidup. Dalam diri ketujuh wanita itulah umat melihat dan merasakan secara nyata keprihatinan dan kesederhanaan Maria, Ibu Risang Sungkawa, Bunda Para Penderita. Ziarah tujuh kembang itu diteruskan dan dilengkapi dengan ziarah ke tujuh sumber air. Ketujuh sumber air yang dianggap keramat-suci di lereng Gunung Merapi itu adalah Tuk (Mata air) Celeng, Tuk Wengi (Malam), Tuk Sangkan Paran (Asal dan Tujuan), Tuk Rembulan (Bulan), Tuk Ulam (Ikan), Tuk Cuwo, Tuk Macan (Harimau). Air dari masing-masing sumber air itu lalu dimasukan kedalam botol dan dibawa pulang.

Peziarahan tujuh kembang dan tujuh mata air diadakan dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun. Lalu peziarahan tersebut ditutup dengan novena pada Bunda Maria. Umat di stasi-stasi berdoa kepada Bunda Maria, agar Bunda Maria sudi memberi air kehidupan dan menunjukan di mana persisnya sumur harus digali. Umat merasa, sumur itu harus digali tepat dibawah kaki Bunda Maria, dan luas sumur tersebut harus hanya seluas satu tegel (20x20cm) saja. Penggalian itu sangat sulit dan berjalan lambat, penuh suasana tirakat dan was-was. Memang tidak mudah dan sangat menggelisahkan bahwa sumur sesempit itu harus digali persis di sebuah tegel, sementara sama sekali belum jelas apakah di bawah tegel itu akan ada sumber airnya. Apalagi penggalian ini hanya dilakukan dengan tangan saja, tak mungkin orang bisa masuk untuk menggali dalam lubang sesempit itu. Belum lagi kekhawatiran, jangan-jangan ada batu besar menghalang. Jika ada, tak mungkin batu itu dipecah atau disingkirkan. Dengan kata lain, jika batu itu ada penggalian tak mungkin diteruskan, karena lubang sumur amatlah kecil, dan hanya bisa ditangani dengan alat sederhana yang manual belaka.



Setelah hampir sebulan penggalian, pada suatu malam akhirnya sumber air itu dapat ditemukan. Begitu ditemukan, pada malam hari itu juga umat datang berbondong-bondong untuk mengikuti misa yang dilanjutkan dengan upacara pemberkatan. Pada saat pemberkatan itu dimasukanlah ke dalam sumur tersebut tujuh warna kembang dan tujuh rupa air, yang diperoleh selama peziarahan. Tujuh rupa air itu kini menyatu dengan air yang ada di kaki Maria menjadi air Maria. Umat setempat menandai sumur yang ditemukan lewat pertolongan Bunda Maria dengan nama "Sumur Kitiran Mas". Dan Maria sebagai pelindung dan pemilik sumur tersehut dinamai "Sang Kitiran Kencana". Dari Sumur Maria Kitiran Mas inilah umat mengambil air, meminumnya dan mohon agar umat dapat merasakan air kehidupan yang berguna untuk hidup rohani maupun jasmani. Umat Pakem menyambut pemberian air itu dengan suka cita. Mereka merasa sumur itu diberikan sebagai rahmat atas tirakatan dan peziarahan rohani mereka. Maka tiap kali mereka berdoa di tepi sumur, mereka selalu mengenangkan kembali segala rahmat yang mereka terima ketika dulu mereka berziarah mencari air penghidupan di tujuh sumber pada lereng Gunung Merapi.



Di sekitar Sumur Kitiran Mas ini ada batu-batuan berbentuk kodok, kupu-kupu, ikan kotes, buto bajang. Benda-benda tersebut bukan sekadar hiasan tapi pralambang yang penuh dengan kenangan. Tiap pralambang itu mengingatkan peristiwa yang dahulu dialami selama peziarahan mencari mata air, yang mendahului penggalian sumur. Batu-batuan itu diambil dari dasar sumur. Bila diamati, di balik batu terlihat bekas-bekas pukulan linggis yang dulu digunakan untuk menggali sumur yang kecil itu. Bisa dibayangkan bila ditengah penggalian, batu besar itu melintang di tengah lubang pastilah penggalian tidak dapat diteruskan. Syukurlah, batu itu baru dijumpai persis ketika penggalian sudah sampai ke dasar. Maka batu-batuan itu mengingatkan, agar kita berani menembus hidup dan segala percobaannya yang sekeras batu, karena kita percaya bahwa Tuhan takkan mencobai kita melebihi kemampuan kita. Batu-batu itu juga mengingatkan akan keterbatasan kekuatan kita. Kita ini makhluk yang terbatas, kita mesti selalu menabrak dan mentog pada keterbatasan kita, pada kebuntuan hidup kita. Jadi selain mengingatkan agar kita kuat dan kukuh, batu-batuan itu juga mengingatkan agar kita juga berani mengenal keterbatasan kita.

Kodok mengingatkan agar kita berani bersikap sederhana, pasrah dan menyerah. Sebelum penggalian sumur, dulu di bawah kaki Maria dilepaskan kodok-kodok selama sembilan malam berturut-turut. Karena mau pasrah dan rendah hati seperti kodok, maka kita diberi tahu di mana sumur harus digali. Kupu-kupu adalah lambang kupu-kupu kuning, yang dulu dilihat selama penggalian sumur. Kupu-kupu kuning itu mengingatkan agar kita berani terbang dari diri kita, melupakan segala kepentingan kita, agar kita ikut dapat menjatuhkan hujan rahmat-Nya ke bumi yang kering nii. Ikan kotes mengingatkan, bahwa kita ini adalah pendosa. Kita jelek dan menakutkan seperti ikan kotes. Tapi berkat air-Nya kita bisa menjadi bersih dan indah, seperti ikan kotes yang berenang-renang indah dalam air. Buto bajang mengingatkan agar kita mau menjadi sederhana dan tulus. Dengan kesederhanaan itu kita bisa menciptakan apa saja. Buto bajang yang membawa tempurung itu juga mengingatkan kita, agar kita tidak sombong dengan akal kita dan mau menerima Allah sebagai misteri. Tidak mungkin kita menyelidiki Allah Tritunggal Maha Kudus setuntas-tuntasnya hanya dengan akalmu saja.

Sedangkan tanda yang paling penuh kenangan di atas tanda-tanda tadi adalah patung Maria yang ada di atas sumur ini. Sebelum penggalian sumur, umat Pakem ingin memiliki patung Maria. Tapi untuk membeli patung Maria ukuran besar, uang umat tidaklah cukup. Maka umat membuat sendiri patung itu dengan biaya yang sangat murah, hanya lima puluh ribu rupiah. Umat ingin agar patung itu memuat gambaran ibu-ibu pedesaan, ibu-ibu petani. Maka jadilah patung Ibu Maria, yang sangat sederhana ini. Maria, yang digambarkan dalam patung itu disebut Ibu - Risang Sungkawa, artinya dalam diri Maria tersimpanlah segala beban dan penderitaan yang harus disandang wanita-wanita pedesaan yang miskin dan sederhana. Sejak saat itu, umat sering berdoa di hadapan Maria, ibu Risang Sungkawa itu. Dan sesungguhnya ibu Maria Risang Sungkawa inilah sumber dan asal yang mendorong umat Pakem mencari air penghidupan dan akhirnya menggali Sumur Kitiran Mas. Umat menganggap sumur yang kini berada di bawah kaki Maria itu adalah milik ibu Risang Sungkawa sendiri.

Kemudian banyak peziarah dari luar Pakem datang untuk berdoa dan mengambil air dan sumur tersebut. Seusai herdoa, orang-orang itu menimba air dari sumur untuk keperluan penyembuhan sakit atau berkat lainnya. Tidak semua orang kebagian air, padahal mereka sungguh membutuhkannya.

Pernah ditutup

Sumur tersebut pernah ditutup selama 15 tahun sejak tahun 1985, lalu dibuka kembali dengan diawali misa konselebrasi, pada Sabtu 6 Mei 2000 petang, dipimpin pastor paroki Romo A. Jarot dan romo Dr. GP Sindhunata SJ. Umat Katolik Paroki Pakem Sleman, merasa lega setelah permohonan mereka untuk membuka kembali Sumur Kitiran Mas di dalam Gereja Maria Assumpta Pakem, diizinkan oleh pastor paroki A. Jarot Kusno Pr dan Uskup Agung Semarang Mgr. Ign. Suharyo Pr.

Sumur kecil ini dibuat tahun 1983 saat Romo Sindhu menjadi pastor paroki. Sebelumnya sumur berdiameter 20 cm dan berkedalaman 9 meter ini diharapkan dapat melengkapi altar Maria, dengan memberi kesejukan dari air yang setiap waktu dituangkan di bejana yang terletak di sampingnya. Nama Kitiran Mas adalah nama lain dari Semar yang merupakan gambaran wong cilik, tetapi juga dewa penyelamat, yang kalau dunia kacau dia akan datang sebagai penyelamat. Dan bagi umat Katolik di Pakem yang kuat berdevosi kepada Maria, dia adalah "dewi pedesaan" yang melindungi mereka. Untuk itu mereka memberi nama yang indah Sang Kitiran Mas. Kepercayaan yang kuat dan iman yang teguh umat Katolik itulah yang beberapa kali membuat mereka yang memohon kesembuhan kemudian dapat sembuh yang lalu menumbuhkan anggapan bahwa kesembuhan itu didapat dari air sumur Kitiran Mas. Akibatnya kemudian muncul salah persepsi dari masyarakat yang menganggap sumur itu adalah sumur tiban. Sehingga berbondong-bondong warga datang dari segala penjuru semata-mata ingin mengambil air sumur tersebut. Karena sudah dirasa meresahkan sumur itu lalu ditutup. Sumur ini kemudian dibuka kembali karena umat rindu akan peziarahan kepada Maria yang dahulu sering mereka lakukan untuk memohon berkat kepada Yang Maha Kuasa lewat ibu Risang Sungkawa.

""Sumur kedua""





Kemudian sumur itu dirasa terlalu kecil untuk bisa mencukupi kebutuhan peziarah akan air. Maka lalu diputuskan menggali lagi sebuah sumur yang lebih besar, dengan garis tengah 70cm. Maka kini sumur kecil di bawah kaki Maria itu tak lagi sendiri. Di sebelahnya terdapat "anaknya", sebuah sumur yang lebih besar dan kekar. Sumur yang besar ini mempunyai sumber yang sama dengan "ibunya", sumur kecil semula, jadi keduanya berasal dan satu sumber. Bedanya dari sumur besar ini, orang dapat menimba air sepuas-puasnya. Hal mana tak dapat dilakukan pada sumur yang kecil. Maka kini Sumur Kitiran Mas dapat ditimba tanpa kekhawatiran akan kehabisan airnya. Sumur itu kemudian diberkati lagi pada Bulan Maria, persisnya pada Minggu Pon, 14 Oktober 2001. Dengan pemberkatan kembali itu umat ingin menandai dan berharap agar Sumur Kitiran Mas dapat sungguh-sungguh menjadi sumber hidup bagi siapapun. Bukan hanya bagi umat Katolik Pakem, tapi juga bagi umat manapun yang haus dan ingin menimba Air Kehidupan.